Bersyukur karena bahagia atau bersyukur untuk bahagia?

 

 Apabila hati penuh syukur, kita menemukan cinta di mana-mana. -Ali ibn Abu Thalib-

Saya sering mendengar ungkapan, kalau kamu dapat rezeki atau mendapatkan kebaikan, maka bersyukurlah dirimu. Sekilas seperti tidak ada yang salah dengan ungkapan tersebut. Memang seharusnya kita bersyukur jika mendapatkan kebaikan dan rezeki. Namun, kita harus ingat, di zaman yang serba mewah dan banyak tuntutan sekarang, setiap manusia mempunyai target rezeki yang berbeda-beda. Jika dapat rumah bertingkat-tingkat komplit dengan kolam renang dan pohon kelapa samping kanan-kirinya, baru sang empu checklist target rezeki. Bertahun-tahun pasangan hidup tak kunjung datang, ia bilang rezekinya tak kunjung datang juga. Apalagi jika kita mengingat anak muda yang baru putus cinta, bukan kebahagiaan yang datang tapi justru isak tangis yang susul menyusul di pojokan kamar.

Jadi sekarang, kalau kita tak kunjung merasakan kebahagiaan menurut versi masing-masing, kapan kita akan bersyukur? Saking sibuknya mencari kebahagiaan dan lupa bersyukur, kita tak pernah sadar ajal sudah menunggu di perempatan jalan sana.

Seperti halnya iman yang berakar dari hati, kebahagiaan pun berakar dari hati yang lapang dan penuh syukur. Dr. Shigeo Haruyama, seorang dokter spesialis bedah saluran pencernaan di Jepang, menulis buku berjudul The Miracle of Endorphin (Mizan, 2011) yang mengulas betapa eratnya hubungan antara kesehatan fisik seseorang dengan kondisi kejiwaannya. Haruyama menyebutkan, seandainya seseorang bisa memaksimalkan hormon kebahagiaan yang ia miliki, yang bersumber dari pikiran dan emosi, ia akan terhindar dari keterpurukan, baik secara fisik maupun psikis. Dengan kata lain, jika kita menyikapi suatu masalah dengan hati yang lapang dan pikiran yang positif, bahkan jikapun masalah tersebut lebih besar daripada biasanya, maka kita tidak akan mengalami batin yang tertekan dan keterpurukan yang berkelanjutan. Alih-alih kita justru dapat menyelesaikan masalah dengan tenang. Hati bersyukur, masalah teratasi, dan kita happy ending.

Penelitian Haruyama sebenarnya sudah disampaikan berabad-abad yang lalu oleh Sang Penutur Kebajikan, Rasulullah SAW. Dalam haditsnya, beliau menyampaikan ungkapan yang sangat menakjubkan, “Ketahuilah, di dalam tubuh ini terdapat segumpal daging: kalau segumpal daging itu baik, baiklah seluruh tubuh; kalau segumpal daging itu rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu tiada lain adalah hati.”

Dengan adanya hati ini, maka sang buta tetap bisa merasakan kebahagiaan walaupun hanya hitam yang mengihiasi hari-harinya, sang tuli masih bisa tersenyum walaupun ia tak bisa mendengar suaranya sendiri, orang yang tak punya kaki dan tangan pun masih bisa tertawa riang walaupun mereka tak dapat berlari dan menyuapi diri mereka sendiri. Disini, hati adalah “raja”. 

Mari kita bercermin, ungkapan apa yang pertama kali kita lontarkan begitu bangun dari tidur di pagi hari. “Terima kasih Ya Allah untuk pagi yang indah ini!” atau “Aduh, ya Allah, kok sudah pagi, kok begini, kok begitu, atau kok… kok… yang lain!” Dari kedua ungkapan itu, kita dapat melihat, manusia mana yang lebih baik hubungannya dengan Allah SWT.

Syukur adalah kunci segudang kenikmatan. Anggap saja Allah mempunyai lemari yang sangat besar dengan pintu yang sangat banyak dimana isinya adalah rezeki dan nikmat yang siap diberikan kepada kita. Namun, Allah sudah memberikan petunjuk di Al-Quran,

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

Kunci dari pintu-pintu tersebut adalah syukur. Jika kita semakin bersyukur maka Allah akan membukakan pintu-pintu yang lainnya. Karena itu, daripada minta kecukupan, lebih baik kita minta tawakal; daripada minta nikmat, lebih baik kita minta syukur; daripada minta terlepas dari musibah, lebih baik minta sabar, dan seterusnya. Dalam Al-Hikam, ibn Athaillah mengungkapkan bahwa sebaik-baik doa yang harus dipanjatkan kepada  Allah adalah apa-apa yang Allah perintahkan kepada kita.

“Jika kita bersyukur, kita akan bahagia.” Inilah ungkapan yang tepat.

Referensi :

Hidayat, Yadi Saeful. Aku Jauh Engkau Jauh Aku Dekat Engkau Dekat. 2013. Mizania. Bandung

Leave a comment